Hei, ini saran serius. Jangan sampai kejadian menyebalkan yang menimpaku
terjadi juga padamu. Dulu, mantan pacarku, Bernard, menghadiahiku anak anjing
jenis yorkshire terrier. Anak anjing
yang lucu dengan bulu-bulunya yang panjang dan lembut, berwarna abu-abu
kecokelatan. Kunamai dia Bernard, sama seperti nama pacarku, agar aku selalu
mengingat pacarku itu setiap aku memanggil anjingku. Dan juga, supaya aku
selalu ingat ketika Bernard (manusia) menciumku setiap Bernard (anjing)
menjilati wajahku dengan antusias. Bukan berarti caranya sama lho ya!
Kejadian selanjutnya, tentu sudah bisa kalian tebak kan? Aku putus dengan Bernard—yang manusia, pastinya—dengan cara yang sangat menyebalkan. Dia yang minta putus dariku dengan alasan aku terlalu pemaksa dan membuatnya rendah diri. Ketika aku bilang aku bisa berusaha untuk berubah, dia tetap bersikukuh memutuskanku. Dan kami pun putus. Beberapa saat, aku masih mencoba memenangkan hatinya kembali dengan berusaha menjadi seperti yang ia mau. Betapa kesalnya aku mendapati kalau ternyata usahaku itu sia-sia. Sifatku bukanlah alasannya yang sebenarnya untuk minta putus dariku. Alasan sebenarnya adalah karena ia sudah menemukan penggantiku; teman kantornya yang berpenampilan seksi slash murahan, yang langsung dipacarinya seminggu setelah ia minta putus dariku.
Sejak itu, dengan segenap hati, aku membenci Bernard—baik manusia maupun
anjing. Aku tahu sih kalau sebenarnya anjingku tidak bisa disalahkan atas hal
ini. Tapi mau bagaimana lagi kalau setiap hari aku melihatnya aku mengingat
Bernard-manusia dan setiap aku memanggil namanya aku merasa memanggil mantan
pacarku itu?
Sudah sebulan lebih aku tidak mengacuhkan Bernard anjingku. Mama sampai
kesal karena seharusnya Bernard merupakan tanggung jawabku. Aku yang bertugas
mengajaknya jalan-jalan, aku yang bertugas memandikannya, dan aku juga yang
bertugas membersihkan kotorannya. Kini, boro-boro aku mau melakukan semua
pekerjaan itu, melihat anjing itu mengibaskan ekornya saja aku sudah muak.
*******
“Lagian elo sih, pake kasih nama anjing sama kayak nama pacar. Sakit
hati kan lo, pas akhirnya putus,” ujar Freya, temanku, ketika kami asyik
nongkrong di Starbucks Pacific Place sepulang meeting di tempat klien, yang terletak di gedung di atas mal ini.
“Pengen gue buang deh tuh anjing.” Aku menyeruput ice green tea latte-ku dengan penuh emosi.
“Eh tega banget lo. Anjing nggak berdosa gitu!”
“Ya abis, gue harus gimana, Freeey???”
“Hmmm... Lo ganti nama anjinglo aja gimana?”
“Nggak bisa. Tuh anjing udah ngerti kalo nama dia tuh Bernard. Kalo gue
panggil pake nama lain, misalnya Ucup atau Joni gitu, dia nggak bakal ngeh.
Lagian, bukan itu doang masalahnya. Karena dia hadiah dari Bernard, apa pun
namanya, tiap gue ngeliat dia ya gue selalu keinget sama Bernard,” keluhku.
“Apa gue kasih ke orang aja ya? Lo mau nggak, Frey?”
“Ih, sorry ya Ne, gue benci
anjing. Mending kucing deh ke mana-mana!”
*******
Bernard masih setia menungguku pulang kantor dan mengibaskan ekornya
dengan semangat setiap kali aku akhirnya memasuki rumah. Dan setiap kali itu
juga, aku memakinya, “Anjing lo, Bernard!” dan pergi tanpa menghiraukannya
sedikit pun, langsung menuju kamarku. Biasanya, setelah itu, Bernard akan
mengais-ngais pintu kamarku sebelum akhirnya pergi ke tempat Mama.
“Anne,” ujar Mama sambil membuka pintu kamarku. Bernard tampak sedih di
gendongannya. “Bernard sedih ini lho. Sampai kapan sih kamu mau cuekin dia?”
“Buang aja, Ma. Kasih ke siapa kek yang mau,” jawabku sekenanya sambil
menguncir rambutku, bersiap-siap untuk mandi.
“Lho kok begitu? Anjing pintar begini. Manis pula. Ya kan Bernard?”
Bernard menjilat hidung Mama, seakan mengerti pujian Mama barusan.
*******
Aku terus mencoba mencari orang yang mau mengadopsi Bernard. Sayang,
kebanyakan yang belum punya anjing tidak tertarik memelihara anjing sedangkan
yang tertarik memelihara kebanyakan sudah punya terlalu banyak anjing atau
tidak didukung fasilitas yang memadai. Sekali aku juga mengunjungi animal shelter yang letaknya tidak
terlalu jauh dari rumah. Kupikir, jika Bernard kutinggalkan di sana, cepat atau
lambat pasti ada yang mau mengadopsinya. Namun, ketika aku melihat betapa penuh
sesaknya tempat itu dengan binatang dan betapa kotornya kandang-kandang yang tersedia,
aku urung menyerahkan Bernard. Biar bagaimana, aku masih punya hati nurani.
Maka, aku pun pasrah saja sementara ini tetap melihat Bernard
mondar-mandir di rumahku.
*******
Hari ini hari Sabtu, dan seperti biasa, aku lari pagi keliling kompleks.
Jam setengah enam, aku sudah siap dengan pakaian dan sepatu olahraga. Setelah
pemanasan sebentar, aku pun mulai berlari kecil keluar rumah. Aku masih berada
tidak jauh dari rumah ketika tiba-tiba ada seekor anjing kampung yang cukup
besar menggeram ke arahku.
Lho, lho, anjing dari mana ini? Sepertinya anjing di daerahku tidak ada
yang galak seperti ini.
Serta merta aku langsung pucat. Mana keadaan sedang sepi-sepinya. Aku
segera memutar otakku. Apakah sebaiknya aku diam dulu sampai dia pergi, ataukah
aku berjalan mundur perlahan-lahan? Yang pasti, lari menjauh bukanlah pilihan
yang baik, karena tentu seekor anjing sebesar itu bisa mengalahkan kecepatan
lariku dengan mudah.
Anjing itu kembali menggeram dan menggonggong. Dan mendekatiku.
Mamaaa!!!!
“T...TOLOONG!!!” teriakku panik. Tapi kurasa suaraku tidak keluar
sekencang yang kuharapkan. Aku melirik sambil tetap waspada dengan keberadaan
anjing di depanku, berusaha mencari batu atau kayu atau apa pun yang bisa
kugunakan untuk menghalau anjing itu, tapi tidak ada.
Anjing itu akhirnya maju untuk menyerangku. Namun, dari belakangku,
muncul sekelebat bayangan abu-abu dan gonggongan yang sangat kukenal: Bernard!
Anjingku itu langsung bergelut dengan anjing kampung gila yang cukup
besar ukuran tubuhnya dibanding Bernard. Suara-suara yang dihasilkan sungguh
menakutkan.
“B...BERNARD!!!” jeritku. Aku sungguh panik, takut anjingku terluka.
Tanpa banyak berpikir, kulepas sepatuku dan kulempar ke arah anjing kampung itu.
Setelah dua sepatuku, aku mencari benda lain untuk kulempar sambil tetap
berteriak minta tolong. Bahkan telepon genggamku pun kulempar.
Air mata kini sudah membanjiri wajahku. Aku takut Bernard mati.
Beberapa tetangga kini sudah keluar rumah, dan akhirnya, anjing kampung
gila itu berhasil diusir dengan siraman air dan pukulan gagang sapu. Anjing itu
lari terbirit-birit, meninggalkan Bernard yang terbaring dengan napas
terengah-engah.
“Bernard!!!” pekikku sambil menghampiri anjing malang itu. Bernard
bersimbah darah di wajahnya. Kaki depan sebelah kanannya sepertinya patah.
Tapi, ia masih bernapas. Dengan bantuan beberapa tetangga, aku membawanya
pulang dan Papa segera menemaniku ke dokter hewan langganan.
*******
Sebulan kemudian, Bernard sudah pulih sepenuhnya, walau kini mata
kirinya buta. Akibat gigitan anjing gila itu, mata kiri Bernard harus
dikeluarkan. Tapi syukurlah, selain itu, ia sehat-sehat saja. Ia kini menjadi
kesayangan keluarga kami dan terutama, aku.
Aku tidak bisa lepas dari Bernard selama ia dirawat. Bernard telah
menyelamatkanku walau aku selama ini membencinya dan tidak pernah
memedulikannya.
Kata Mama, di Sabtu pagi yang naas itu, Bernard tiba-tiba panik dan
mengais-ngais pintu depan. Ketika Mama yang bingung membuka pintu, Bernard
langsung melesat memanjat pagar yang memang tidak terlalu tinggi, dan lari ke
ujung jalan. Mama tidak bisa menangkapnya dan heran dengan kemampuan Bernard
memanjat pagar. Rupanya, Bernard mendengar suaraku dan tahu kalau aku butuh
pertolongan. Dan tanpa ragu, ia datang menolongku.
Bernard pahlawanku. Dan kini, aku menyadari. Walau Bernard manusia bisa
saja mengkhianatiku, Bernard yang berkaki empat ini akan selalu setia padaku. I love you, Bernard!
No comments:
Post a Comment