Sunday, February 8, 2015

Mimpi Pentas Seni

credit: Querita @ Livejournal


Huf!

Aku menghela napas sambil menegakkan tubuhku kembali. Akhirnya, selesai juga lukisan Utumbaba—sebenarnya lukisan orang suku pedalaman, namun aku dan teman-teman menamakannya Utumbaba supaya mudah disebut—ini. Hari ini, sudah tiga jam aku membungkuk, menyelesaikan lukisan di atas potongan keenam tripleks ini yang rencananya setelah disatukan akan dipajang di sisi panggung pada acara Pentas Seni dua minggu lagi. Pentas Seni tahun ini bertema Cultural Adventure, dengan sentuhan etnik Indonesia yang kuat. Dan si Utumbaba ini, adalah maskot Pentas Seni kami.


Punggungku terasa sakit. Kakiku pun kesemutan.  Aku segera berdiri, menyenderkan tripleks yang baru saja kukerjakan di tembok Ruang Seni yang sudah dilapisi plastik, dan melangkah mundur agak jauh, ingin melihat hasil karyaku.

“Wah bagus banget, Rin!” seru seseorang dari belakangku, membuat kaget sekaligus membuat pipiku memanas seketika. Suara itu pasti suara Indra. INDRA! Sejak kapan dia ada di ruangan ini?

Ketika aku menoleh, cengiran senang terpampang di wajah Indra. Matanya memandangi lukisanku yang masih berupa enam potongan tripleks—serupa potongan puzzle—yang belum disatukan dan masih kusandarkan ke tembok untuk diangin-anginkan.

“Emang bisa kelihatan, ya? Kan tripleksnya belum digabung?” tanyaku sok cool, padahal dalam hati sih jantungku sudah meloncat-loncat tak karuan.

“Bisalaaah... Sebelum digabung aja udah kelihatan, pengecatannya rapi. Kombinasi warnanya juga bagus. Kapan rencananya tripleks-tripleks ini bakal digabung?” tanyanya.

“Belum tau. Tunggu instruksi dari Kak Eko,” jawabku. Kak Eko adalah alumni SMA kami yang kini kuliah di IKJ—Institut Kesenian Jakarta. Ia adalah mentor kami, para anggota seksi dekorasi, untuk melakukan pekerjaan dekorasi Pentas Seni.

“Ooh...” Responnya.

Lalu hening. Aku mencoba meneruskan percakapan kami, tapi tak ada satu kata pun melintas dalam otakku yang mendadak tidak bisa diandalkan ini.

“Ya udah, Rin, gue mau ngecek yang lain dulu ya. Nice job!” Akhirnya Indra memecahkan keheningan dengan pamit. Aku hanya menggigit bibirku pelan. Ada rasa kecewa dan penyesalan tebersit di hatiku. Kenapa aku tidak bisa mengajaknya bicara lebih banyak? Padahal jarang-jarang aku bisa berbicara dengannya seperti tadi. Dan mungkin, di masa depan, ketika kepanitiaan Pentas Seni ini selesai, kesempatan itu tidak akan datang lagi.

Indra adalah Ketua Panitia acara Pentas Seni tahun ini. Cowok terpopuler di angkatan kami, dan bahkan mungkin di satu sekolah, mengingat dulu bahkan beberapa kakak kelas kami pun secara terang-terangan menyatakan rasa sukanya kepada Indra. Ia bukanlah yang tertampan, bukan pula yang terpintar, walau tentu semua sepakat bahwa Indra tidak bisa dibilang tidak tampan, tidak juga bodoh. Tubuhnya tinggi kurus, dan berkulit cokelat muda. Wajahnya yang tirus memiliki hidung mancung dan mata yang selalu bersinar ramah dan bersemangat di balik kacamatanya. Sepintas, ia terlihat seperti seorang kutu buku yang lebih suka berada di kumpulan buku daripada di tengah kumpulan orang. Namun ternyata tidak begitu. Kelebihan Indra yang membuatnya disenangi banyak orang justru adalah keluwesannya dalam bergaul. Dia sangat senang berorganisasi dan sangat pintar berdiplomasi. Ketika ia menjabat sebagai Ketua OSIS di kelas II dulu, ia dapat dengan mudah mengajak anak-anak gaul yang kurang peduli pada kegiatan akademik sampai anak-anak pintar yang justru hanya peduli pada kegiatan akademik untuk terlibat dalam kepanitiaan apapun yang diadakan OSIS. Indra selalu berhasil menelurkan ide-ide baru dan membuat segala kegiatan menjadi menyenangkan. Guru-guru menyukainya, siswa-siswa menghormatinya dan tak terhitung banyaknya siswi yang naksir padanya.

Aku adalah salah satu penggemarnya. Tapi jangan harap aku akan bisa seperti siswi-siswi lain yang dengan berani menunjukkan perasaan mereka. Aku tidak sepercaya diri itu. Aku sadar wajahku jauh dari cantik dan tubuhku termasuk gemuk. Untuk ukuran cewek bertinggi badan 158 sentimeter, berat 72 kilogram termasuk kegemukan kan? Maksudku, aku tidak mengada-ada waktu kubilang aku gemuk. Aku bukan tipe cewek yang selalu merasa gemuk padahal punya badan setipis tusuk gigi. Kalau disandingkan dengan Indra, aku dan dia akan tampak seperti cello dengan penggeseknya. Selain itu, seperti sudah kau lihat tadi, aku tidak pintar membuka pembicaraan. Aku kaku dan sulit bergaul. Teman-teman dekatku bisa dihitung dengan jari di sebelah tangan. Buatku, Indra seperti seorang idola yang hanya bisa kupandangi dari jauh, dan aku hanya bisa berkomunikasi dengannya kalau ia berbaik hati memberiku kesempatan. Menyedihkan, tapi begitulah kenyataannya.

Sebelum sama-sama tergabung di kepanitiaan Pentas Seni, aku tidak pernah berbicara dengannya.  Eh, mungkin pernah berbicara dalam arti hanya sekadar basa-basi, tapi tidak pernah sampai bercakap-cakap lama. Aku tidak pernah sekelas dengannya dan juga tidak pernah bergabung di kepanitiaan apapun. Orang tuaku tidak suka aku menghabiskan waktu terlalu banyak untuk hal-hal yang hanya akan membuatku lelah dan tidak fokus pada pelajaran. Ada beasiswa yang harus kukejar jika aku ingin meneruskan kuliah seni di luar negeri. Hanya ekskul melukis yang diijinkan oleh kedua orang tuaku karena setiap siswa di SMA 88 ini wajib mengikuti minimal satu ekskul dan ekskul melukis sesuai dengan minat dan cita-citaku. Baru di kepanitiaan Pentas Seni ini, aku berani membantah orang tuaku dengan berpartisipasi di seksi dekorasi, karena aku ingin memiliki kenangan indah bersama-sama teman-teman seangkatanku. Dan Indra. Aku ingin berada di kepanitiaan yang dipimpin Indra sekali saja seumur hidupku.

*******

Pentas Seni tinggal lima hari lagi. Dan saat ini, kami, seluruh panitia, dikumpulkan di ruangan kelas IPA 1 untuk pembagian kaos panitia.

“Ukuran kaosnya ternyata lebih kecil dari ukuran yang dulu kita pesan. Jadi, setelah dapat kaosnya, tolong segera dicoba dan kalau nggak muat, langsung lapor ke gue buat ditukar ukuran yang lebih besar ya,” seru Divana, si Sekretaris. Lalu ia mulai menyebutkan nama para panitia satu persatu lengkap dengan ukuran kaosnya.

Uh, kenapa harus disebut satu-satu ukuran kaosnya sih?

“Riana, XL!” seru Divana.

Aku segera maju dan meraih kaos itu secepat aku bisa sambil berharap tidak ada orang yang memperhatikan ukuran kaosku yang merupakan ukuran paling besar itu. Aku segera berjalan ke pojok belakang ruang kelas dan mengenakan kaos itu di atas kemeja seragamku. Uh, sempit.

“Kenapa, Rin, nggak muat ya?” tanya Nissa, temanku sesama anggota seksi dekorasi. Kaosnya terlihat pas, bahkan dalam keadaan didobel dengan seragam. Badan Nissa memang kecil dan ramping. Betapa aku iri padanya.

“Eh, mungkin karena pake seragam. Aku ke WC dulu ya, mau coba kaosnya tanpa pakai seragam.” Aku mulai panik. Aku melihat sorot prihatin di mata Nissa. Aku segera pergi ke WC terdekat.

Tidak muat juga. Nyangkut di bagian dada.

Aku menghela napas.

Dengan berat hati, aku menghampiri Divana dan mengabarkan kalau kaosnya tidak muat.

“Duh gimana ya?” Divana jadi bingung. XL adalah ukuran terbesar kaos panitia. Kalau yang ini tidak muat berarti aku harus pakai kaos apa?

“Itu tandanya lu harus diet, Rin, biar muat pake kaosnya!” ledek Seto yang berada di dekat Divana. “Eh tapi mana bisa ya, 5 hari langsingin badan?”

Divana mencubit lengan Seto gemas, sementara aku hanya terdiam. Malu.

Tiba-tiba...

“Ada apa nih?” Indra sudah berada di sebelah Seto. Duh kenapa dia harus datang sih? Aku hanya bisa mematung. Kurasakan wajahku memanas sementara Divana menjelaskan persoalanku kepada Indra. Ingin rasanya aku membekap mulut Divana. Kenapa Indra harus tahu kalau tidak ada kaos yang muat untukku?

“Ooh...” Indra hanya tersenyum tenang. “Ada berapa yang pesan kaos XL yang nggak muat selain Ririn?’’ tanyanya kepada Divana. Setelah Divana menanyakan ke anak-anak yang lain, ternyata dari 3 orang siswi yang memesan kaos XL, hanya aku yang tidak muat. Sedangkan untuk siswa tidak ada. Malu-maluin banget ya.

“Hmm kalo gitu gampang. Untuk kaos cowok, ada sisa ukuran apa?” tanya Indra.

“Ada satu XL,” jawab Divana sambil meraih kaos yang masih dalam keadaan terplastik di meja sebelahnya.

Ya ampun, masa aku terus pakai kaos XL cowok? Kesannya badanku besar bangettttt... Apalagi kalau melihat kaos XL cowok itu dipakai cowok sebesar Randi, yang bobotnya mungkin lebih dari 100 kilo!

“Gue ambil yang XL. Rin, lo coba pake kaos gue deh.” Indra malah menyerahkan kaosnya kepadaku. Ukurannya L. Aku melotot tak percaya. “Kayaknya lo lebih pas pake yang L. Yang XL bakal kegedean!”

“T..trims Ndra. Gue coba dulu ya,” aku tergagap.

“Gimana? Muat?” tanya Indra begitu aku kembali dari WC.

Aku mengangguk. Kaos itu pas di badanku, malah longgar sedikit. Membuatku nyaman.

“Syukur deh.” Indra kembali menyunggingkan senyumnya yang membuat lututku lemas seketika.

“Eh tapi, lo sendiri gimana, Ndra? Kan kaoslo jadi longgar,” tanyaku. Badan Indra kan kurus. Rasanya kaos ukuran XL akan sangat kedodoran dipakainya.

“Nggak masalah kalo cowok pake baju kelonggaran. Yang penting semua dapet kaos dan bisa dipake dengan nyaman pas acara.”

“Makasih ya Ndra.” Kekagumanku terhadapnya semakin bertambah. Ya, kepribadiannya yang seperti inilah yang membuatku menyukainya.

*******

Hari Pentas Seni.

Ramai. Sibuk. Lelah.

Sudah dua hari aku berada di sekolah, melakukan final touch bersama anggota seksi dekorasi lainnya. Tadi pagi aku sempat pulang sebentar untuk mandi, makan, dan berangkat lagi ke sekolah untuk memastikan pekerjaan kami beres sekaligus membantu kerja seksi lain. Aku sempat beberapa jam membantu di loket masuk sebelum kembali berkutat dengan dekorasi, karena ada beberapa dekorasi yang rusak oleh penonton yang padat dan jail. Kini, ketika jam menunjukkan pukul sembilan malam, rasanya badanku sudah mau rontok. Bagaimana aku bisa membongkar semua dekorasi nanti?

Afgan sedang tampil di panggung. Ia adalah artis penutup pentas seni ini. Seluruh pengunjung termasuk panitia yang berjenis kelamin cewek langsung memadati bagian depan panggung dan menjerit-jerit histeris. Aku lebih memilih duduk di bangku batu depan kelas XII IPS 3—kelasku—sambil  menikmati suara Afgan dari jauh. Aku harus menyimpan energi untuk membongkar dekorasi sebentar lagi.

“AWWWW!!!” pekikku refleks ketika sesuatu yang basah dan dingin menyentuh pipiku. Rupanya yang menyentuh pipiku adalah sebotol Pocari Sweat. Dan yang menempelkannya adalah... INDRA! Ia tertawa lepas melihat kekagetanku barusan. Apakah mukaku selucu itu tadi?

“Sendirian aja, Rin?” tanyanya begitu aku mengambil botol Pocari Sweat dari tangannya. “Nggak ikutan ke depan panggung nonton Afgan? Kali bisa diajak naik ke panggung gitu?”

Aku hanya mendengus. Indra pasti bercanda. Mana mungkin Afgan memilihku naik ke panggung? Kalau cewek-cewek sebangsa Marion, Ara, dan anak-anak cheers lainnya sih mungkin. Tapi aku?

Indra duduk di sebelahku dan menenggak Pocari Sweat-nya. Wajahnya tampak letih, namun ia masih tampak bersemangat. Lelahku sedikit menghilang melihat ekspresinya.

“Syukur acaranya sukses. Rame,” ujarnya sambil menatap ke panggung.

“Ketuanya oke sih,” balasku.

“Timnya oke,” balasnya.

Aku mengangguk membenarkan. Tapi itu semua karena elo, Ndra. Elo dan kepemimpinanlo. Nggak gampang bisa kayak gitu, tambahku dalam hati. Setiap hari aku mengikuti rapat persiapan dan melihat kepemimpinan Indra, rasa kagumku semakin bertambah. Sayang, perasaanku ini hanya dapat kusimpan sendiri saja. Namun tak mengapa, toh dalam hitungan bulan kami akan lulus dan berpisah. Orang seperti Indra sepantasnya mendapatkan orang yang jauh lebih baik dariku. Lebih cantik, lebih pintar, dan lebih supel. Orang sepertiku... sedikit kenangan bersamanya saja sudah lebih dari cukup.

“RIIIIN!!!” Panggil Aster, temanku, tiba-tiba dari kerumunan penonton di depan panggung. “Ngapain lo duduk di situ doang? Siniii.... Afgan nih, lho, AFGAN!!!”

Aku tertawa melihat Aster menggoyangkan badannya dengan semangat diiringi lagu “Katakan Tidak” milik Afgan.

“Ih dia malah diem aja. Ayo siniii!!!!!!” seru Aster lagi.

Aku menatap Indra, yang mengangguk seakan menyuruhku maju dan bergabung dengan Aster. Aku pun segera berdiri dan berlari ke arah Aster setelah tersenyum kepada Indra. Kesempatan terakhir di SMA, tak ada salahnya menikmati momen ini.

*******

“Pulang sama siapa, Rin?” tanya Indra dari motornya ketika kami berpapasan di dekat gerbang sekolah. Sudah pukul setengah 11 malam.  Acara Pentas Seni sudah selesai. Dekorasi akhirnya sudah dibereskan dan yang terbayang olehku sekarang hanya kasur kamarku yang empuk.

“Ummm....” Terus terang, aku masih belum tahu mau pulang dengan siapa dan naik apa. Aku berharap bisa pulang bareng Aster, yang rumahnya searah dengan rumahku, namun ia belum kunjung kelihatan. Paling mentok, aku naik angkutan umum saja. Seharusnya sih, walau sudah sepi, angkutan umum masih beroperasi.

“Kalo belum ada barengan, pulang bareng gue aja,” ajak Indra.

Nggak salah dengar nih? Indra mengajakku pulang bareng? Setelah tadi sempat mengobrol berdua, kini ia mengajakku pulang bareng? Mimpi apa aku kemarin malam? Eh, aku kan bergadang di sekolah kemarin malam...

“Udah malem, bahaya cewek pulang sendiri. Ayo sini bareng gue aja!” Indra menyodorkan helm untuk penumpang kepadaku.

Aku sudah hampir mengiyakan ajakannya tatkala aku teringat kondisi badanku yang sudah kotor dan bau. Selain itu, badanku kan berat. Bagaimana kalau motor Indra keberatan membawaku? Duh pasti malunya luar biasa kalau nanti di tengah jalan motor Indra harus berjalan pelaaaan banget!

Aku harus menolak ajakannya atau aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri. Setelah kedekatan kami selama Pentas Seni, aku tidak rela harus mempermalukan diriku di hadapannya. Aku masih belum mau terbangun dari mimpi ini—kalau memang apa yang terjadi akhir-akhir ini antara aku dan dirinya hanya mimpi. Tapi apa alasanku untuk menolaknya??

Tiba-tiba aku melihat sosok Rasyad yang sedang berjalan dengan Kak Eko di parkiran mobil.

“Rasyad!!” panggilku panik.

Rasyad adalah alumni SMA 88 sekaligus tetanggaku. Ia rupanya datang juga di acara Pentas Seni hari ini. Dan ia membawa mobil. Alasan yang tepat kalau aku mau menebeng pulang dengannya.

“Eh Rin. Mau balik bareng?” seru Rasyad dari parkiran.

“Iya!” balasku.

“Gue bareng tetangga gue aja, Ndra. Alumni sini juga. Rasyad. Lo kenal kan?” ujarku.

Indra terdiam sejenak. Ekspresi wajahnya tidak dapat terbaca ketika melihat ke arah Rasyad dan Kak Eko. Namun kemudian, ketika ia kembali menatapku, ia sudah kembali tersenyum.

“Oke deh kalo gitu, Rin. Hati-hati ya, istirahat, jangan sakit. Sampai ketemu hari Senin,” ujarnya.

Aku hanya mengangguk lemah dan hanya bisa pasrah menatap motor yang dinaiki Indra menjauh dariku dan keluar melewati pagar sekolah. Separuh perasaanku adalah lega, namun separuh lagi adalah penyesalan.

Seandainya tadi aku mengiyakan ajakan pulang Indra, aku akan bisa berboncengan dengan dia dan mungkin kami akan berkesempatan ngobrol lebih banyak. Tapi... Ah sudahlah, kesempatan itu sudah lewat. Kebersamaanku dan Indra selama persiapan Pentas Seni dan hari ini memang sudah selesai, dan mungkin besok aku akan kembali terbangun dan berhadapan dengan kenyataan.



Aku menghampiri Rasyad dan langsung memasuki mobilnya dalam diam.

No comments:

Post a Comment