Aku
menghela napas sambil menegakkan tubuhku kembali. Akhirnya, selesai juga
lukisan Utumbaba—sebenarnya lukisan orang suku pedalaman, namun aku dan
teman-teman menamakannya Utumbaba supaya mudah disebut—ini. Hari ini, sudah tiga
jam aku membungkuk, menyelesaikan lukisan di atas potongan keenam tripleks ini
yang rencananya setelah disatukan akan dipajang di sisi panggung pada acara
Pentas Seni dua minggu lagi. Pentas Seni tahun ini bertema Cultural Adventure,
dengan sentuhan etnik Indonesia yang kuat. Dan si Utumbaba ini, adalah maskot
Pentas Seni kami.
Punggungku
terasa sakit. Kakiku pun kesemutan. Aku
segera berdiri, menyenderkan tripleks yang baru saja kukerjakan di tembok Ruang
Seni yang sudah dilapisi plastik, dan melangkah mundur agak jauh, ingin melihat
hasil karyaku.
“Wah
bagus banget, Rin!” seru seseorang dari belakangku, membuat kaget sekaligus
membuat pipiku memanas seketika. Suara itu pasti suara Indra. INDRA! Sejak
kapan dia ada di ruangan ini?
Ketika
aku menoleh, cengiran senang terpampang di wajah Indra. Matanya memandangi
lukisanku yang masih berupa enam potongan tripleks—serupa potongan puzzle—yang belum disatukan dan masih
kusandarkan ke tembok untuk diangin-anginkan.
“Emang
bisa kelihatan, ya? Kan tripleksnya belum digabung?” tanyaku sok cool, padahal dalam hati sih jantungku
sudah meloncat-loncat tak karuan.
“Bisalaaah...
Sebelum digabung aja udah kelihatan, pengecatannya rapi. Kombinasi warnanya
juga bagus. Kapan rencananya tripleks-tripleks ini bakal digabung?” tanyanya.
“Belum
tau. Tunggu instruksi dari Kak Eko,” jawabku. Kak Eko adalah alumni SMA kami
yang kini kuliah di IKJ—Institut Kesenian Jakarta. Ia adalah mentor kami, para
anggota seksi dekorasi, untuk melakukan pekerjaan dekorasi Pentas Seni.
“Ooh...”
Responnya.
Lalu
hening. Aku mencoba meneruskan percakapan kami, tapi tak ada satu kata pun
melintas dalam otakku yang mendadak tidak bisa diandalkan ini.
“Ya
udah, Rin, gue mau ngecek yang lain dulu ya. Nice job!” Akhirnya Indra memecahkan keheningan dengan pamit. Aku
hanya menggigit bibirku pelan. Ada rasa kecewa dan penyesalan tebersit di
hatiku. Kenapa aku tidak bisa mengajaknya bicara lebih banyak? Padahal
jarang-jarang aku bisa berbicara dengannya seperti tadi. Dan mungkin, di masa
depan, ketika kepanitiaan Pentas Seni ini selesai, kesempatan itu tidak akan
datang lagi.
Indra
adalah Ketua Panitia acara Pentas Seni tahun ini. Cowok terpopuler di angkatan
kami, dan bahkan mungkin di satu sekolah, mengingat dulu bahkan beberapa kakak
kelas kami pun secara terang-terangan menyatakan rasa sukanya kepada Indra. Ia
bukanlah yang tertampan, bukan pula yang terpintar, walau tentu semua sepakat
bahwa Indra tidak bisa dibilang tidak tampan, tidak juga bodoh. Tubuhnya tinggi
kurus, dan berkulit cokelat muda. Wajahnya yang tirus memiliki hidung mancung
dan mata yang selalu bersinar ramah dan bersemangat di balik kacamatanya.
Sepintas, ia terlihat seperti seorang kutu buku yang lebih suka berada di
kumpulan buku daripada di tengah kumpulan orang. Namun ternyata tidak begitu.
Kelebihan Indra yang membuatnya disenangi banyak orang justru adalah
keluwesannya dalam bergaul. Dia sangat senang berorganisasi dan sangat pintar
berdiplomasi. Ketika ia menjabat sebagai Ketua OSIS di kelas II dulu, ia dapat
dengan mudah mengajak anak-anak gaul yang kurang peduli pada kegiatan akademik
sampai anak-anak pintar yang justru hanya peduli pada kegiatan akademik untuk
terlibat dalam kepanitiaan apapun yang diadakan OSIS. Indra selalu berhasil menelurkan
ide-ide baru dan membuat segala kegiatan menjadi menyenangkan. Guru-guru
menyukainya, siswa-siswa menghormatinya dan tak terhitung banyaknya siswi yang
naksir padanya.
Aku
adalah salah satu penggemarnya. Tapi jangan harap aku akan bisa seperti
siswi-siswi lain yang dengan berani menunjukkan perasaan mereka. Aku tidak
sepercaya diri itu. Aku sadar wajahku jauh dari cantik dan tubuhku termasuk
gemuk. Untuk ukuran cewek bertinggi badan 158 sentimeter, berat 72 kilogram
termasuk kegemukan kan? Maksudku, aku tidak mengada-ada waktu kubilang aku
gemuk. Aku bukan tipe cewek yang selalu merasa gemuk padahal punya badan
setipis tusuk gigi. Kalau disandingkan dengan Indra, aku dan dia akan tampak
seperti cello dengan penggeseknya. Selain itu, seperti sudah kau lihat tadi,
aku tidak pintar membuka pembicaraan. Aku kaku dan sulit bergaul. Teman-teman
dekatku bisa dihitung dengan jari di sebelah tangan. Buatku, Indra seperti
seorang idola yang hanya bisa kupandangi dari jauh, dan aku hanya bisa
berkomunikasi dengannya kalau ia berbaik hati memberiku kesempatan.
Menyedihkan, tapi begitulah kenyataannya.
Sebelum
sama-sama tergabung di kepanitiaan Pentas Seni, aku tidak pernah berbicara
dengannya. Eh, mungkin pernah berbicara
dalam arti hanya sekadar basa-basi, tapi tidak pernah sampai bercakap-cakap
lama. Aku tidak pernah sekelas dengannya dan juga tidak pernah bergabung di
kepanitiaan apapun. Orang tuaku tidak suka aku menghabiskan waktu terlalu
banyak untuk hal-hal yang hanya akan membuatku lelah dan tidak fokus pada
pelajaran. Ada beasiswa yang harus kukejar jika aku ingin meneruskan kuliah
seni di luar negeri. Hanya ekskul melukis yang diijinkan oleh kedua orang tuaku
karena setiap siswa di SMA 88 ini wajib mengikuti minimal satu ekskul dan
ekskul melukis sesuai dengan minat dan cita-citaku. Baru di kepanitiaan Pentas
Seni ini, aku berani membantah orang tuaku dengan berpartisipasi di seksi
dekorasi, karena aku ingin memiliki kenangan indah bersama-sama teman-teman
seangkatanku. Dan Indra. Aku ingin berada di kepanitiaan yang dipimpin Indra
sekali saja seumur hidupku.
*******
Pentas
Seni tinggal lima hari lagi. Dan saat ini, kami, seluruh panitia, dikumpulkan
di ruangan kelas IPA 1 untuk pembagian kaos panitia.
“Ukuran
kaosnya ternyata lebih kecil dari ukuran yang dulu kita pesan. Jadi, setelah
dapat kaosnya, tolong segera dicoba dan kalau nggak muat, langsung lapor ke gue
buat ditukar ukuran yang lebih besar ya,” seru Divana, si Sekretaris. Lalu ia
mulai menyebutkan nama para panitia satu persatu lengkap dengan ukuran kaosnya.
Uh,
kenapa harus disebut satu-satu ukuran kaosnya sih?
“Riana,
XL!” seru Divana.
Aku
segera maju dan meraih kaos itu secepat aku bisa sambil berharap tidak ada
orang yang memperhatikan ukuran kaosku yang merupakan ukuran paling besar itu.
Aku segera berjalan ke pojok belakang ruang kelas dan mengenakan kaos itu di
atas kemeja seragamku. Uh, sempit.
“Kenapa,
Rin, nggak muat ya?” tanya Nissa, temanku sesama anggota seksi dekorasi.
Kaosnya terlihat pas, bahkan dalam keadaan didobel dengan seragam. Badan Nissa
memang kecil dan ramping. Betapa aku iri padanya.
“Eh,
mungkin karena pake seragam. Aku ke WC dulu ya, mau coba kaosnya tanpa pakai
seragam.” Aku mulai panik. Aku melihat sorot prihatin di mata Nissa. Aku segera
pergi ke WC terdekat.
Tidak
muat juga. Nyangkut di bagian dada.
Aku
menghela napas.
Dengan
berat hati, aku menghampiri Divana dan mengabarkan kalau kaosnya tidak muat.
“Duh
gimana ya?” Divana jadi bingung. XL adalah ukuran terbesar kaos panitia. Kalau
yang ini tidak muat berarti aku harus pakai kaos apa?
“Itu
tandanya lu harus diet, Rin, biar muat pake kaosnya!” ledek Seto yang berada di
dekat Divana. “Eh tapi mana bisa ya, 5 hari langsingin badan?”
Divana
mencubit lengan Seto gemas, sementara aku hanya terdiam. Malu.
Tiba-tiba...
“Ada
apa nih?” Indra sudah berada di sebelah Seto. Duh kenapa dia harus datang sih?
Aku hanya bisa mematung. Kurasakan wajahku memanas sementara Divana menjelaskan
persoalanku kepada Indra. Ingin rasanya aku membekap mulut Divana. Kenapa Indra
harus tahu kalau tidak ada kaos yang muat untukku?
“Ooh...”
Indra hanya tersenyum tenang. “Ada berapa yang pesan kaos XL yang nggak muat
selain Ririn?’’ tanyanya kepada Divana. Setelah Divana menanyakan ke anak-anak
yang lain, ternyata dari 3 orang siswi yang memesan kaos XL, hanya aku yang
tidak muat. Sedangkan untuk siswa tidak ada. Malu-maluin banget ya.
“Hmm
kalo gitu gampang. Untuk kaos cowok, ada sisa ukuran apa?” tanya Indra.
“Ada
satu XL,” jawab Divana sambil meraih kaos yang masih dalam keadaan terplastik
di meja sebelahnya.
Ya
ampun, masa aku terus pakai kaos XL cowok? Kesannya badanku besar bangettttt...
Apalagi kalau melihat kaos XL cowok itu dipakai cowok sebesar Randi, yang
bobotnya mungkin lebih dari 100 kilo!
“Gue
ambil yang XL. Rin, lo coba pake kaos gue deh.” Indra malah menyerahkan kaosnya
kepadaku. Ukurannya L. Aku melotot tak percaya. “Kayaknya lo lebih pas pake
yang L. Yang XL bakal kegedean!”
“T..trims
Ndra. Gue coba dulu ya,” aku tergagap.
“Gimana?
Muat?” tanya Indra begitu aku kembali dari WC.
Aku
mengangguk. Kaos itu pas di badanku, malah longgar sedikit. Membuatku nyaman.
“Syukur
deh.” Indra kembali menyunggingkan senyumnya yang membuat lututku lemas
seketika.
“Eh
tapi, lo sendiri gimana, Ndra? Kan kaoslo jadi longgar,” tanyaku. Badan Indra kan
kurus. Rasanya kaos ukuran XL akan sangat kedodoran dipakainya.
“Nggak
masalah kalo cowok pake baju kelonggaran. Yang penting semua dapet kaos dan
bisa dipake dengan nyaman pas acara.”
“Makasih
ya Ndra.” Kekagumanku terhadapnya semakin bertambah. Ya, kepribadiannya yang
seperti inilah yang membuatku menyukainya.
*******
Hari
Pentas Seni.
Ramai.
Sibuk. Lelah.
Sudah
dua hari aku berada di sekolah, melakukan final
touch bersama anggota seksi dekorasi lainnya. Tadi pagi aku sempat pulang
sebentar untuk mandi, makan, dan berangkat lagi ke sekolah untuk memastikan
pekerjaan kami beres sekaligus membantu kerja seksi lain. Aku sempat beberapa
jam membantu di loket masuk sebelum kembali berkutat dengan dekorasi, karena
ada beberapa dekorasi yang rusak oleh penonton yang padat dan jail. Kini,
ketika jam menunjukkan pukul sembilan malam, rasanya badanku sudah mau rontok. Bagaimana
aku bisa membongkar semua dekorasi nanti?
Afgan
sedang tampil di panggung. Ia adalah artis penutup pentas seni ini. Seluruh
pengunjung termasuk panitia yang berjenis kelamin cewek langsung memadati bagian
depan panggung dan menjerit-jerit histeris. Aku lebih memilih duduk di bangku
batu depan kelas XII IPS 3—kelasku—sambil menikmati suara Afgan dari jauh. Aku harus
menyimpan energi untuk membongkar dekorasi sebentar lagi.
“AWWWW!!!”
pekikku refleks ketika sesuatu yang basah dan dingin menyentuh pipiku. Rupanya
yang menyentuh pipiku adalah sebotol Pocari Sweat. Dan yang menempelkannya
adalah... INDRA! Ia tertawa lepas melihat kekagetanku barusan. Apakah mukaku
selucu itu tadi?
“Sendirian
aja, Rin?” tanyanya begitu aku mengambil botol Pocari Sweat dari tangannya.
“Nggak ikutan ke depan panggung nonton Afgan? Kali bisa diajak naik ke panggung
gitu?”
Aku
hanya mendengus. Indra pasti bercanda. Mana mungkin Afgan memilihku naik ke
panggung? Kalau cewek-cewek sebangsa Marion, Ara, dan anak-anak cheers lainnya sih mungkin. Tapi aku?
Indra
duduk di sebelahku dan menenggak Pocari Sweat-nya. Wajahnya tampak letih, namun
ia masih tampak bersemangat. Lelahku sedikit menghilang melihat ekspresinya.
“Syukur
acaranya sukses. Rame,” ujarnya sambil menatap ke panggung.
“Ketuanya
oke sih,” balasku.
“Timnya
oke,” balasnya.
Aku
mengangguk membenarkan. Tapi itu semua karena elo, Ndra. Elo dan kepemimpinanlo.
Nggak gampang bisa kayak gitu, tambahku dalam hati. Setiap hari aku mengikuti
rapat persiapan dan melihat kepemimpinan Indra, rasa kagumku semakin bertambah.
Sayang, perasaanku ini hanya dapat kusimpan sendiri saja. Namun tak mengapa,
toh dalam hitungan bulan kami akan lulus dan berpisah. Orang seperti Indra sepantasnya
mendapatkan orang yang jauh lebih baik dariku. Lebih cantik, lebih pintar, dan
lebih supel. Orang sepertiku... sedikit kenangan bersamanya saja sudah lebih
dari cukup.
“RIIIIN!!!”
Panggil Aster, temanku, tiba-tiba dari kerumunan penonton di depan panggung.
“Ngapain lo duduk di situ doang? Siniii.... Afgan nih, lho, AFGAN!!!”
Aku
tertawa melihat Aster menggoyangkan badannya dengan semangat diiringi lagu
“Katakan Tidak” milik Afgan.
“Ih
dia malah diem aja. Ayo siniii!!!!!!” seru Aster lagi.
Aku
menatap Indra, yang mengangguk seakan menyuruhku maju dan bergabung dengan
Aster. Aku pun segera berdiri dan berlari ke arah Aster setelah tersenyum
kepada Indra. Kesempatan terakhir di SMA, tak ada salahnya menikmati momen ini.
*******
“Pulang
sama siapa, Rin?” tanya Indra dari motornya ketika kami berpapasan di dekat
gerbang sekolah. Sudah pukul setengah 11 malam.
Acara Pentas Seni sudah selesai. Dekorasi akhirnya sudah dibereskan dan
yang terbayang olehku sekarang hanya kasur kamarku yang empuk.
“Ummm....”
Terus terang, aku masih belum tahu mau pulang dengan siapa dan naik apa. Aku
berharap bisa pulang bareng Aster, yang rumahnya searah dengan rumahku, namun
ia belum kunjung kelihatan. Paling mentok, aku naik angkutan umum saja.
Seharusnya sih, walau sudah sepi, angkutan umum masih beroperasi.
“Kalo
belum ada barengan, pulang bareng gue aja,” ajak Indra.
Nggak
salah dengar nih? Indra mengajakku pulang bareng? Setelah tadi sempat mengobrol
berdua, kini ia mengajakku pulang bareng? Mimpi apa aku kemarin malam? Eh, aku
kan bergadang di sekolah kemarin malam...
“Udah
malem, bahaya cewek pulang sendiri. Ayo sini bareng gue aja!” Indra menyodorkan
helm untuk penumpang kepadaku.
Aku
sudah hampir mengiyakan ajakannya tatkala aku teringat kondisi badanku yang sudah
kotor dan bau. Selain itu, badanku kan berat. Bagaimana kalau motor Indra
keberatan membawaku? Duh pasti malunya luar biasa kalau nanti di tengah jalan
motor Indra harus berjalan pelaaaan banget!
Aku
harus menolak ajakannya atau aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri.
Setelah kedekatan kami selama Pentas Seni, aku tidak rela harus mempermalukan
diriku di hadapannya. Aku masih belum mau terbangun dari mimpi ini—kalau memang
apa yang terjadi akhir-akhir ini antara aku dan dirinya hanya mimpi. Tapi apa
alasanku untuk menolaknya??
Tiba-tiba
aku melihat sosok Rasyad yang sedang berjalan dengan Kak Eko di parkiran mobil.
“Rasyad!!”
panggilku panik.
Rasyad
adalah alumni SMA 88 sekaligus tetanggaku. Ia rupanya datang juga di acara
Pentas Seni hari ini. Dan ia membawa mobil. Alasan yang tepat kalau aku mau
menebeng pulang dengannya.
“Eh
Rin. Mau balik bareng?” seru Rasyad dari parkiran.
“Iya!”
balasku.
“Gue
bareng tetangga gue aja, Ndra. Alumni sini juga. Rasyad. Lo kenal kan?” ujarku.
Indra
terdiam sejenak. Ekspresi wajahnya tidak dapat terbaca ketika melihat ke arah
Rasyad dan Kak Eko. Namun kemudian, ketika ia kembali menatapku, ia sudah
kembali tersenyum.
“Oke
deh kalo gitu, Rin. Hati-hati ya, istirahat, jangan sakit. Sampai ketemu hari
Senin,” ujarnya.
Aku
hanya mengangguk lemah dan hanya bisa pasrah menatap motor yang dinaiki Indra
menjauh dariku dan keluar melewati pagar sekolah. Separuh perasaanku adalah
lega, namun separuh lagi adalah penyesalan.
Seandainya
tadi aku mengiyakan ajakan pulang Indra, aku akan bisa berboncengan dengan dia
dan mungkin kami akan berkesempatan ngobrol lebih banyak. Tapi... Ah sudahlah,
kesempatan itu sudah lewat. Kebersamaanku dan Indra selama persiapan Pentas
Seni dan hari ini memang sudah selesai, dan mungkin besok aku akan kembali
terbangun dan berhadapan dengan kenyataan.
Aku
menghampiri Rasyad dan langsung memasuki mobilnya dalam diam.
No comments:
Post a Comment