Saturday, January 28, 2012

MACET

credit banner to scrumptions@tumblr



Mobil sudah tidak bergerak selama hampir lima belas menit.

Mario menghela napas.

Kepalanya berdenyut-denyut dan hidungnya berair, namun ia berusaha untuk terus berkonsentrasi menyetir walau kini sepertinya tidak ada tanda-tanda mobilnya akan dapat bergerak barang satu senti pun.

Siapa sangka Jakarta di Sabtu sore ini akan amat-sangat-begitu macet?


Di sebelah Mario duduk sesosok gadis mungil yang cantik. Ia telah mengenakan gaun anggun berwarna hijau muda lembut. Wajah bermake-up dan rambut tertata rapi. Namun bibirnya tertekuk. Alisnya berkerut.

“Duuh Mar, udah jam segini nih. Telat banget deh kita!” rengek gadis itu.

Mario hanya terdiam. Pikirannya sudah kusut, ditambah lagi kepalanya cenat-cenut karena flu. Ia hanya mengambil tisu dari kotak yang terletak di sebelah tempat duduknya dan mengelap hidungnya.

“Ini semua salah kamu. Ngapain sih milih lewat Radio Dalam? Udah dibilangin lurus aja tadi, lewat Senayan!” sambung gadis itu. “Lihat nih akhirnya kita masih stuck disini. Kapan sampe Hyatt-nya kalau gini caranya?”

“Yah siapa sih yang nyangka jalanannya macet gini? Aku pikir tadi justru jalanan ini yang bakal lancar,” jawab Mario pelan. Ia tidak ingin berdebat dengan Vira saat ini. Ia hanya ingin secepatnya sampai di rumah, minum obat flu, dan tidur. Keinginan yang sepertinya masih akan lama terlaksana mengingat saat ini mereka bahkan dekat dengan tempat tujuan pun belum.

Vira terdiam. Lalu mulai mengeluarkan BB-nya dan mengetik. Mungkin mengetik BBM ke teman-temannya, mengabari kalau ia terjebak macet. Atau mungkin curhat ke teman-temannya mengenai kebodohan Mario dalam memilih jalan. Mario tidak peduli. Terserah Vira saja, asal gadis itu tidak mengomel lagi.

*******

Dua tahun lalu Vira dan Mario bertemu. Dan Mario langsung jatuh cinta pada gadis mungil yang punya tawa yang lepas dan cantik itu. Vira diperkenalkan kepada Mario oleh teman kuliah Mario dan sejak itu mereka berdua menjadi dekat. Tidak perlu waktu lama untuk Mario dan Vira berubah dari sekedar teman menjadi berpacaran, karena ternyata Vira juga memiliki perasaan yang sama dengan Mario.

Hari-hari yang mereka lalui kemudian begitu indah. Mario menikmati setiap cerita yang keluar dari mulut Vira. Mario menikmati setiap film yang ia tonton bersama Vira. Mario menikmati setiap makanan yang ia santap bersama Vira. Mario menikmati setiap saat yang ia lalui bersama Vira.

Memang Vira doyan belanja, keluar masuk toko di mal sampai berjam-jam dan membuat kaki Mario pegal (padahal setelah itu Mario masih harus menyetir mobil pulang), namun itu tidak apa-apa. Toh cewek memang begitu kan? Lagipula, Mario menyukai hasilnya: Vira yang cantik, stylish, dan pastinya membuat bangga Mario yang menggandengnya karena Mario sadari, banyak cowok yang menoleh dan memandang kagum ke arah Vira setiap kali mereka jalan bersama. Pengorbanan selama menunggu Vira berbelanja terbayar dengan kebanggaannya menjadi cowok Vira.

Memang Vira doyan bersosialisasi dan kerap meminta Mario menemaninya ke acara-acara pertemuan dengan teman-temannya dan juga ke pesta-pesta pernikahan, yang sebenarnya tidak begitu disukai Mario karena membuatnya menjadi orang asing diantara kumpulan teman Vira. Namun ia suka melihat betapa Vira bahagia berada diantara teman-temannya. Betapa Vira bersinar setiap kali ia tertawa ketika mendengar cerita teman-temannya. Mario suka dengan Vira yang punya pergaulan luas, mencerminkan bahwa gadis itu bukan hanya cerdas, namun juga supel.

Memang Vira suka mengkritik diri Mario dan melakukan perubahan-perubahan pada apa yang sudah Mario miliki. Vira kerap menyuruh Mario membeli pakaian baru yang dinilai Vira akan lebih cocok dipakainya ketimbang t-shirt dan jeans belel favoritnya. Vira memilihkan tempat sampah dan bantal kursi mobil yang senada untuk ditaruh di mobil Mario. Vira menghadiahi Mario kado ulang tahun berupa voucher fitness untuk digunakan Mario karena menurut Vira badan Mario kurang menarik, walau sebenarnya Mario merasa tubuhnya cukup sehat dan proporsional. Toh dia masih rutin main futsal sepulang kerja. Namun Mario tidak keberatan dengan semua perubahan yang Vira lakukan atas dirinya, karena itu menandakan kalau Vira peduli dan ingin agar Mario berkembang jadi lebih baik.

Memang Vira suka meminta Mario mengantar-jemputnya. Ke kantor, ke mal, ke acara keluarga, ke pertemuan dengan teman-temannya, ke mana saja. Dan kadang Vira tidak mengerti ketika Mario menjawab “tidak bisa”. Bukan “tidak mau”, karena Mario rela melakukan apa saja untuk membuat Vira senang selama dirinya mampu. Kebahagiaan Vira adalah yang utama. Dan setelah itu Vira mengambek. Dan Mario merasa bersalah. Karena memang dirinya yang bersalah kan? Sudah seharusnya ia ada untuk Vira setiap pacarnya membutuhkannya.

Semua baik-baik saja sampai tiba-tiba, suatu hari, entah mengapa semuanya tidak baik-baik saja lagi. Mario bosan selalu diatur-atur oleh Vira. Mario bosan mendengar omelan Vira. Mario bosan mengantar Vira kemana-mana. Mario tidak mengerti kenapa Vira sekarang sepertinya selalu saja senang mencari-cari kesalahan Mario agar ia bisa mengomeli Mario kapan pun ia mau. Mario tidak mengerti  kenapa Vira sekarang sepertinya lebih mengatur Mario ketimbang ibu Mario sendiri. Mario tidak mengerti kenapa sekarang sepertinya hidup bersama Vira serasa hidup di dalam penjara. Sekarang, yang ia rasa adalah ingin bisa lepas dari Vira, ingin meninggalkan gadis itu. Gadis yang telah membuat hidupnya sengsara akhir-akhir ini. Mario ingin mendapatkan kembali kebebasannya.


*******

Mobil kini sudah maju ke Jalan Jendral Sudirman, walau sepertinya masih akan butuh waktu lama untuk sampai ke hotel Grand Hyatt, tempat pesta pernikahan salah satu teman kantor Vira dilangsungkan. Lalu lintas masih padat dan mobil berjalan merayap.

Mario merasakan kepalanya mulai bertambah pening, karena Vira sudah kembali mengomel.

“Ini udah jam 8, Mar, dan kita masih di sini. Acaranya cuma sampe jam 9!! Kita telat banget niiih,” omel Vira.

Turun aja sana, naik Transjakarta, ingin Mario berteriak begitu namun tidak ada yang terealisasikan menjadi kata-kata yang dilontarkan secara nyata.

“Mar, do something dong, Mar. Apaan gitu, yang bisa ngeluarin kita dari kemacetan ini. Aku kan harus dateng ke pesta itu. Nggak enak sama anak-anak kantor kalo nggak dateng,” rengek Vira lagi, dengan suara yang membuat kuping Mario terasa berdengung.

Turun sana, naik Transjakarta, ulang batin Mario. Namun yang keluar menjadi suara hanyalah..

“Mau gimana lagi Vir, kita udah terjebak di tengah-tengah jalur cepat begini. Jalur lambat juga sama macetnya kan,” Mario menunjuk ke jendela samping Vira, ke arah jalur lambat yang sama padat merayapnya dengan jalur cepat, tempat mobil mereka berada.

“Semua gara-gara kamu sih, pake ngaret perginya. Tuh kan jadi kena macet!!” tuduh Vira.

Padahal tadi Mario datang tepat waktu ke rumah Vira, hanya saja Vira belum siap dan Mario harus menunggu lumayan lama sampai akhirnya Vira siap berangkat. Tapi Mario tidak ingin mendebat Vira. Percuma.

*******

Sudah berkali-kali Mario memikirkan skenario untuk memutuskan hubungan dengan Vira. Namun berkali-kali juga skenario itu tidak sempat dipraktekkan karena jauh dalam lubuk hatinya, gengsi itu masih ada. Gengsi bahwa cowok tidak pantas memutuskan hubungan dengan cewek. Ceweklah yang harus memutuskan hubungan dengan cowok. Jadi, Mario menunggu untuk Vira akhirnya memutuskan hubungan mereka. Namun Vira sepertinya tidak berpikir untuk putus dengan Mario, walau setiap hari kerjaannya hanya mencari-cari kesalahan Mario.

Mario tidak mengerti apa sebenarnya yang dilihat Vira dari diri Mario sampai-sampai ia masih bisa memutuskan untuk bertahan dengan Mario. Vira selalu mengkritik gaya berpakaian Mario, bahkan pernah suatu kali berkata kalau selera berpakaian Mario “sudah tidak bisa diselamatkan lagi” dan membuat segala usahanya untuk me-make-over Mario sia-sia. Vira selalu marah setiap Mario terlambat menjemput Vira, tanpa mau mendengar alasan di balik keterlambatan itu. Vira selalu menganggap Mario sombong karena tidak mau berinteraksi dengan teman-temannya setiap kali Mario diajak Vira hang out dengan teman-teman Vira yang belum tentu cocok dengan Mario. Vira selalu menganggap Mario susah diajak berkomunikasi karena biasanya, di tiap kencan, hanya Vira yang asyik berbicara sementara Mario hanya terdiam tanpa ekspresi.

Mario tidak mengerti kenapa Vira masih mau menjadikan Mario pacarnya. Sudah lah, putus saja!


*******

Vira kembali duduk di mobil. Wajahnya kini bukan saja bete, tapi juga marah.

Akhirnya Mario dan Vira berhasil sampai ke tempat pesta sepuluh menit sebelum pesta berakhir. Acara foto bersama dan lempar bouquet pengantin telah lewat. Makanan pun sudah hampir habis. Teman-teman Vira menyayangkan keterlambatan Vira dan Vira meminta maaf atas keterlambatannya kepada kedua pengantin. Vira dan Mario hanya menghabiskan waktu lima belas menit di hotel Grand Hyatt sebelum akhirnya kembali berada di dalam mobil, untuk menempuh perjalanan pulang.

“Kamu seneng ya ngeliat aku malu kayak tadi?” omel Vira setelah mobil kembali berada di jalan raya.

Mario menghela napas lagi. Kepalanya semakin berdenyut, namun ia masih memaksanya untuk berpikir jalur mana yang sebaiknya dilewati agar bisa terhindar dari macet seperti tadi. Ia tidak bisa membiarkan emosinya mendengarkan omelan Vira mengambil alih fokus otaknya yang sudah dengan susah payah bekerja itu.

“Mar, kok diem aja sih? Seneng ya liat aku sengsara. Huuuh, aku nggak tahu deh besok anak-anak di kantor bakal ngomongin apa tentang aku. Datang ke pernikahan teman hanya sepuluh menit sebelum acara selesai, bahkan nggak foto-foto sama sekali. Parah banget!”

Mario masih terdiam. Konsentrasi. Konsentrasi.

“Mar, ngomong sesuatu dong. Ini kamu lewat mana pula pulangnya? Ngapain sih kita musti muter-muter?” tanya Vira.

“Aku pengen menghindari macet Sudirman, Sayang,” jawab Mario malas. “Kayaknya Kuningan lebih lengang deh.”

“Kuningan bukannya macet ya? Duh kamu ngapain sih milih jalan yang aneh-aneh? Udah deh lewat Sudirman aja, mungkin jam segini udah nggak macet!” ujar Vira.

“Masih macet lah. Kamu tadi nggak lihat ya semacet apa arus balik di Sudirman? Dan itu belum ada setengah jam yang lalu. Aku nggak kuat kalau harus ngelewatin macet kayak gitu sekali lagi. Aku pusing nih,” jawab Mario.

“Tapi kan Kuningan juga macet. Belum lagi di Mampang Prapatannya!”

“Tapi nggak bakal separah Sudirman. Percaya deh.”

Vira terdiam. Mario kembali fokus menentukan jalan yang akan dilewati.


*******

Entah apa karena semua jalanan Jakarta sedang padat atau karena Tuhan memang sedang ingin bermain-main dengan emosi Mario, jalanan di Mampang Prapatan ternyata juga macet. Tidak bergerak.

Dan Vira semakin heboh mengomel. Ia menuduh Mario sengaja ingin merusak malamnya. Ia menuduh Mario tidak peduli perasaannya. Lalu omelan Vira merembet menjadi ke urusan lain, termasuk mengungkit-ungkit lagi kejadian masa lalu yang bahkan Mario sudah lupa, hanya untuk menunjukkan segala kesalahan yang Mario pernah perbuat terhadap Vira.

Mario berusaha menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan. Kepalanya sangat sakit. Matanya mulai berair. Namun sepertinya Vira tidak mau peduli. Bahkan sampai akhirnya jalanan menjadi lengang dan Mario bisa menambahkan kecepatan mobilnya pun Vira sepertinya tidak peduli. Mulut gadis cantik yang emosi itu masih saja melontarkan segala kalimat penuh emosi yang memojokkan Mario.

Putus.

Putus.

Peduli setan dengan gengsi, gue harus bisa putus dengan Vira. Menyingkirkan Vira dari hidup gue. Gue nggak bisa hidup dengan cara seperti ini terus menerus.

Mungkin besok.. Atau malam ini mungkin, setelah gue sampai di rumahnya?

Malam ini sepertinya lebih baik.

“Kamu tuh bego banget sih, Mar, nggak bisa ngertiin aku sedikit pun? Temen-temenku bahkan bilang kamu itu aneh, aku seharusnya mutusin kamu. Tapi aku nggak ngedengerin mereka dan tetap berusaha membuktikan kalau kamu tuh nggak seperti yang mereka pikirkan. Tapi kamu sepertinya sama sekali nggak menghargai  dan membantu usaha aku. Aku cape, Mar!” omel Vira dengan suara tinggi.

Pada saat itu darah Mario seakan menggelegak dan ia sudah tidak tahan lagi.

“Vir,” bentak Mario galak. “Elo yang nggak ngerti. Semua omelan lo, semua kritikan lo, semua usaha lo buat ngubah gue...  Menurut lo gue suka digituin? Menurut lo gue bisa lo bentuk sesuka hati lo? Menurut lo gue itu pacar atau boneka lo sih? Lo nggak pernah mikirin perasaan gue?”

Vira terbengong. Air mata perlahan-lahan menggenang di matanya. Kekagetan yang sempat tergambar di wajahnya dengan cepat berganti menjadi amarah.

“Tapi Mar, aku kan melakukan ini buat kebaikan kamu, kok kamu malah jadi kasar begitu?” bentak Vira balik. “Dasar cowok nggak tahu terima kasih. Nyesel aku pacaran sama kamu. Ternyata omongan teman-temanku itu benar. Kita putus aja kalau begitu!”

Kalimat yang seharusnya membuat Mario lega, tapi tidak sekarang, ketika ia terlanjur emosi karena merasa harga dirinya diinjak-injak oleh omongan Vira.

“Oh mau putus? Bagus. Fine! Tapi tolong ya jangan hina gue. Gue bukan cowok nggak tahu terima kasih. Gue bukan cowok bego. Gue bukan semua yang lo omongin tentang gue barusan. Gue nggak suka lo menghina gue seperti itu.. Gue..”

“MAR!!” tiba-tiba Vira menjerit.

Mario ingat pandangan panik di mata Vira ketika wajahnya bolak-balik menatap jalanan dan Mario secara bergantian. Mario ingat cengkeraman keras Vira di kain batik di bahu kirinya. Lalu Mario ingat ketika ia melihat pohon di kaca depan mobilnya, dan saat mobilnya menabrak keras pohon itu lalu terbalik. Dan semua menjadi gelap...


No comments:

Post a Comment