Tuesday, December 27, 2011

To Let You Go

  credit banner to colorvary@livejournal


Ketika lo benar-benar cinta sama orang, kebahagiaan orang itu lah yang lebih penting diatas segalanya.

Ketika saat itu akhirnya datang juga, rasanya hati gue kayak baju diperas setelah dicuci.
Melilit.
Sakit.
Ketika akhirnya gue tahu, dari mulutnya sendiri. Kalau dia sudah punya pacar.

Kejadiannya begini. Waktu itu gue kebetulan lagi main ke rumahnya. Bukan buat ketemu dia, tapi ketemu kakaknya, yang memang teman gue. Lalu gue pun diajak makan malam bareng di rumahnya. Bareng dia dan kakaknya, tentu. Lalu mendadak BBnya bunyi. Dan dia angkat, lalu terdengar kalimat itu.
“Iya say, aku lagi makan. Abis ini aku telepon kamu ya,” dengan nada manis yang sejak lima belas tahun gue kenal dia belum pernah gue dengar keluar dari mulutnya.  Lalu dengan malu-malu dia menatapku dan mengatakan, “pacar gue.”
Saat itu rasanya semua makanan yang sudah gue sendok ke mulut seperti tersangkut di tenggorokan.
*******

Namanya Jonathan, tapi biasa dipanggil Jona. Dulu, waktu masih lebih kecil, gue suka manggil dia Jojon, sengaja hanya untuk membuat dia marah atau nangis. Gue sudah kenal dia sejak masuk SD, sejak gue berteman dengan Rena, kakak perempuannya. Jona dua tahun lebih muda dari kami, makanya suka jadi objek penderita kami kalau gue bermain ke rumah Rena. Rumah kami berdekatan. Walau di SMP dan SMA gue dan Rena pisah sekolah, kami tetap dekat dan setelah kuliah di universitas dan fakultas yang sama, kami menjadi lebih dekat lagi.
Gue melihat Jona tumbuh, sama seperti dia melihat gue dan kakaknya tumbuh. Dulu Jona pendek dan gemuk, tapi mendekati lulus SMP tubuhnya meninggi dan mengurus. Di SMA, dia masuk ke SMA khusus cowok dan mulai menggondrongkan rambut dan suka ikutan tawuran. Saat itu adalah saat terbadungnya, tetapi pada saat itu juga dia mulai merasa bahwa dia benar-benar suka bermain gitar dan mulai nge-band.  Dan menurut gue, keahliannya bermain gitar memang bisa dibilang oke. Ternyata nggak sia-sia orangtuanya memaksa Jona les gitar sejak SD, sesuatu yang dulu suka dia tolak mati-matian karena dia lebih memilih bermain bersama teman-temannya. Jona kemudian kuliah di universitas yang berbeda dari gue dan Rena. Sejak itu gue mulai jarang bertemu dengannya karena kesibukannya dan juga kesibukan gue sendiri.
Tidak tahu kapan tepatnya gue mulai tertarik pada dia, tetapi rasanya mengetahui segala hal tentang hidup Jona sangat menarik hati gue dan melihatnya ketika gue bermain ke rumah Rena saja sudah membuat gue senang. Mungkin itu sejak gue melihatnya meninggi dan lama-lama tumbuh menjadi cowok dewasa. Atau sejak gue melihat resital gitarnya yang pertama. Gue nggak tahu. Tanpa gue sadari, Jona sudah berhasil mendapatkan porsi lebih di hati gue. Akan tetapi gue nggak bisa berbuat apa-apa, karena Rena adalah sahabat gue dan sejak dulu Rena secara tegas menolak semua teman ceweknya yang menyukai Jona. Memang banyak teman-temannya yang menyukai Jona karena, selain bisa dibilang menarik secara fisik, pribadinya yang cuek jelas menjadi magnet yang sangat kuat buat cewek-cewek. Rena nggak pernah melarang gue secara spesifik sih, tetapi gue tahu kalau Jona benar-benar di luar jangkauan gue dan gue juga nggak pengen membahayakan hubungan pertemanan gue dengan Rena. Ngerti dong maksudnya, kalau misalnya gue dan Jona pacaran lalu putus dengan tidak baik-baik, jelas pertemanan kami akan terkena dampaknya juga. Namun begitu,  Jona sudah menjadi penduduk tetap di hati gue. Mau gimana lagi?

*******
Lagi-lagi gue berada di rumah Rena. Hari ini untuk membahas mengenai tugas kelompok yang harus kami presentasikan Senin depan. Jona ada di rumah, sedang menonton televisi, tetapi mood-nya sepertinya sedang kurang baik. Wajahnya terlihat tegang dan mulutnya tertekuk ke bawah. Sesekali tangannya mengacak-acak rambut ikalnya. Apa dia sedang nonton film horor ya? Memangnya sore-sore ada film horor di televisi?
“Biasa, lagi bete sama ceweknya,” ujar Rena, seakan-akan bisa membaca pertanyaan yang ada dalam otak gue.
“Oh ya?” tanya gue kaget. “Lagi berantem?”
“Tau deh. Sering banget mereka kayak gitu sekarang. Jadi ceweknya itu terlalu banyak nelpon dan nanya-nanya soal kehidupannya si Jona gitu,” Rena memulai ceritanya. Lalu Rena pun menjelaskan soal pacar Jona yang berbeda kampus dengan Jona. Mereka bertemu karena diperkenalkan oleh teman Jona. Sejak itu mereka mulai saling BBM dan telepon, lalu jalan, dan pacaran. Sayang ketika tugas kuliah makin menumpuk, jarak rumah dan lokasi kampus yang lumayan jauh membuat mereka tidak bisa sering bertemu. Sejak saat itu, Ivone, nama pacar Jona, mulai suka menelepon Jona secara berlebihan dan bertanya-tanya mengenai macam-macam. Jona, yang memang pada dasarnya cuek, merasa terganggu dan terhambat dalam menjalankan aktivitasnya. Jona pun jadi lebih sering kesal ketimbang senang setiap Ivone menelepon.
Seharusnya gue senang mendengar kabar itu. Iya kan?
Gue seneng kok. Seneng banget malah.
Gue berharap Jona bakal mutusin Ivone sebentar lagi. Setelah itu, nggak peduli apa pendapat Rena, gue akan mendekati Jona. Gue akan menjadikan Jona pacar gue. Sudah lama gue memendam perasaan ini dan sebentar lagi saatnya gue mendapatkan Jona. Gue nggak mau harus ngerasa kayak gini lagi, diselak sama cewek yang nggak jelas macam si Ivone ini. Lagipula, dilihat dari segi mana pun jelas gue menang segalanya dibanding si Ivone ini. Gue sudah kenal sifat cuek Jona dan Jona juga sudah kenal sifat gue. Kami nyambung kalau ngobrol dan dia juga merasa cukup nyaman dengan gue. Rumah gue dan dia juga dekat, nggak bakal ada masalah kurangnya komunikasi seperti yang dialaminya dengan Ivone.  Mengenai ketakutan akan hubungan gue dengan Rena nanti, toh kalau gue dan Jona berpacaran nanti, kami kan bukan berpacaran untuk putus. Seandainya kami berdua langgeng terus, ketakutan akan rusaknya hubungan pertemanan gue dan Rena kan jadi nggak relevan lagi. Gue menang segalanya dari Ivone.
Gue harus membuat Jona putus dari Ivone!

*******
Saat ini gue sedang berada di mobil Jona. Gue habis melihat-lihat tesis di perpustakaan kampus Jona untuk kepentingan penulisan skripsi gue. Kebetulan Jona ada kuliah siang dan gue bisa menebeng pulang dengannya.
Di tengah menyetir, Jona masih sempat-sempatnya mengetik di BBnya. Pasti membalas BBM Ivone. Soalnya mukanya bete. Gue sudah melihat ekspresi Jona yang seperti ini setiap menerima BBM atau ditelepon Ivone cukup sering sehingga gue sudah bisa menebaknya sekarang.
“Jangan BBM-an kalau nyetir,” hardik gue. Gue memang selalu ribut urusan keamanan ketika menyetir.
“Sorry,” Jona menaruh BBnya di salah satu tempat di pintu mobilnya. “Cewek gue rewel banget. Tadi aja di kelas dia BBM gue terus. Kalau nggak dibalas dia nelepon. Kalau teleponnya nggak diangkat dia ngambek. Cape gue!”
Aku diam saja, nggak tahu harus berkata apa. Dalam hati sih ingin teriak, “PUTUSIN AJA JONAAAAA... CEWEK KAYAK GITU AJA KOK DIPERTAHANIN SIIIHH??? SAMA GUE AJA, GUE NGGAK KAYAK BEGITU KOK!!” tetapi hal itu tidak gue lakukan. Tetap jadi sebatas jeritan hati.
“Gue tahu sih kalau gue bukan orang yang suka ngobrol, suka berbagi cerita. Dan gue juga bukan orang yang romantis. Kadang gue pengen banget mutusin dia karena gue ngerasa gue dan dia nggak cocok sama sekali,” cerita Jona.
“Emangnya dia orangnya kayak gimana sifatnya?” tanya gue. “Lo dulu bisa suka sama dia karena apa?”
“Dia orangnya baik banget. Ramah, terus juga penyayang. Dia udah nggak punya nyokap dan punya dua adik yang masih SD gitu. Gue suka dengan semangatnya, tanggung jawabnya, lalu dia juga suka nyemangatin gue pas gue lagi ada masalah. Tapi setelah jadian kok ternyata dia demanding banget, selalu mau ngobrol, minta ditelepon, gue harus cerita apa kegiatan gue setiap hari, gue juga harus dengerin cerita dia hari itu dia ngapain aja. Dan gue kalo teleponan sama dia nggak bisa kurang dari satu jam. Gue cape aja.” Saat itu gue bersumpah gue melihat kalau mata Jona berbinar-binar bangga ketika menceritakan tentang  Ivone ke gue. Satu hal yang, lagi-lagi, nggak pernah gue lihat dari Jona sebelumnya. Tapi dengan segera sinar mata itu berubah jadi redup ketika ia menceritakan soal perubahan Ivone setelah mereka jadian.
Kata-kata gue selanjutnya merupakan hal yang nggak pernah gue duga keluar dari mulut gue untuk Jona. Gue nggak tahu kenapa gue bisa ngomong seperti ini.
“Mungkin Ivone begitu karena dia butuh elo Jo. Selama ini mungkin dia harus selalu kuat buat keluarganya. Buat orang lain. Jadi ketika sekarang ada elo dia pengen bersandar sama elo, pengen elo yang kasih kekuatan ke dia.” ujar gue.
Rasanya gue pengen nampar pipi gue sendiri. Ngapain juga gue ngomong kayak gitu?
Jona terdiam. Seperti sedang berpikir.
 Gue pun ikut terdiam.
“Iya kali ya? Kok gue nggak pernah mikir kayak gitu ya?” ucap Jona pelan, akhirnya, dengan senyum tipis tersungging di bibirnya.
Gue tersenyum juga.
Saat ini gue heran, kenapa rasanya gue pengen ngomong lebih banyak cuma demi membuat Ivone terlihat baik di mata Jona? Kenapa juga gue bisa tersenyum setulus ini? Saat ini hati gue sedang disakiti, tau!
“Emang sih ada hal-hal yang lebih mudah dilihat oleh orang luar ketimbang pihak-pihak yang terlibat di dalamnya,” kata gue. “Lagian gue rasa wajar kalau seseorang ingin berbagi segalanya sama orang yang dia sayang. Ceritanya, pikirannya, perasaannya. Dan dia juga ingin orang yang dia sayang melakukan hal yang sama ke dia. Gue pikir itu sesuatu yang baik.”
Jona diam, mendengarkan dengan serius.
“Kalau memang waktu yang jadi masalah, mungkin elo yang harus belajar untuk memberi tahu dia soal ini dengan cara yang tepat. Kalau dia sayang elo sih harusnya dia bisa ngerti ya. Kan kata lo dia orangnya baik banget.”
“Iya sih. Ini emang pacar pertama gue. Mungkin emang gue masih harus belajar banyak ya?” ujar Jona.
“Kayaknya sih begitu. Sotoy ya gue? Tapi dari sudut pandang gue sebagai cewek, gue rasa pacar lo emang maunya kayak gitu sih. Cobalah belajar saling mengerti satu sama lain. Kalau memang ternyata nggak cocok kan masih bisa putus. Baru pacaran ini. Hehe.”
Dan gue mau kok nampung elo yang baru putus nanti, tambahku dalam hati.
Jona nyengir.
“Thanks banget ya,” ujarnya.

*******
Hari ini gue berdiri di hadapan sepasang kekasih: Jona dan Ivone. Kami berempat, satu lagi Rena pastinya, memang janjian mau nonton di PIM. Ini adalah pertama kalinya gue bertemu dengan Ivone. Jona memperkenalkan gue sebagai “sahabatnya kakak gue yang bijaksana banget” dan gue cuma bisa ketawa ngedenger candaannya. Bisa aja si Jona ini! Ivone tertawa lepas. Ivone manis, mungil, dan benar-benar terlihat baik hati. Benar-benar pasangan yang cocok untuk Jona. Jona juga tertawa, dan yang pasti ekspresi bete sudah hilang dari wajahnya.
Gue memang masih merasa patah hati karena Jona, cowok yang sudah mengisi hati gue sejak bertahun-tahun lalu, akhirnya punya pacar. Gue juga masih suka mikirin gimana rasanya kalau suatu hari Jona benar-benar menjadi pacar gue. Tapi entah mengapa gue juga senang melihat Jona bahagia menjalani hari-harinya dengan Ivone. Gue juga senang melihat Ivone bahagia menjalani hari-harinya dengan Jona.
Cinta itu memang aneh. Sejak kejadian ini gue sadar arti sebenarnya dari pepatah “Cinta tidak harus selalu memiliki”. Karena gue mengalaminya sendiri. Ketika lo benar-benar cinta sama orang, kebahagiaan orang itulah yang lebih penting di atas segalanya. Lo akan lebih memilih untuk merasakan sakitnya sendirian ketimbang melihat orang yang lo cinta juga merasakan sakit yang sama. Gue nggak menyesal sudah memberikan saran itu ketika di mobil Jona. Gue nggak menyesal melihat Jona bahagia dengan Ivone.
Sebelum memasuki studio bioskop, ketika Ivone sedang ngobrol dengan Rena, Jona mendekati gue.
“Cilla. Thanks banget ya atas saran lo waktu itu. Semua berkat elo nih. Gue berdoa semoga lo juga mendapatkan yang terbaik. Because you really deserve it.”
Gue tersenyum lebar.
Dan kami pun memasuki studio.

No comments:

Post a Comment